"Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.” Itulah bunyi UUD 1945 pasal 28E ayat 1 tentang Hak Asasi Manusia. Di
dalam kata-kata awal kalimat tersebut tertulis bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…” yang ditegaskan dalam UUD 1945
pasal 29 ayat 2 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.“ Lalu, apa itu agama
dan apa yang membuatnya penting untuk dijamin kemerdekaannya oleh negara?
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Hak dan kebebasan beragama serta
berkeyakinan penting untuk mendapat jaminan karena merupakan salah satu hak
asasi manusia yang bersifat mutlak sebagai wujud dari hak asasi manusia yang
paling inti. Karena itu sering dikatakan bahwa, hak dan kebebasan beragama
merupakan hak asasi yang bersifat non-derogable rights yaitu hak asasi
manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Menurut Prof. Dr.
H. Nasaruddin Umar, MA, mantan wakil menteri agama Republik Indonesia, ada 3
jenis hubungan antara agama dan negara, yaitu :
·
Negara
agama ialah negara yang menjadikan salah satu agama sebagai hukum dasar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya di beberapa negara Islam,
seperti Saudi Arabia, Kuwait, Syiria, Yordania, Emirat Arab, Marocco, Brunei
Darussalam, Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, dan sejumlah negara
teluk lainnya.
·
Agama
negara ialah negara yang tidak secara eksplisit mengklaim diri sebagai
negara agama tertentu, tetapi mengklaim agama tertentu sebagai agama resmi
negara. Contoh negara seperti ini ialah Malaysia, sebagaimana dituangkan dalam
Konstitusi Malaysia dalam pasal 3 ayat 1: "Agama Islam adalah agama resmi
bagi perseketuan; tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai
dimana-mana bahagian persekutuan”.
·
Negara
sekuler ialah negara yang menghindari kerancuan antara negara dan agama
lalu urusan pemerintahan diberikan kepada para pemerintah khususnya kepada
pihak eksekutif, sementara agama diserahkan pengaturannya kepada pemimpin
agama, maka negara-negara seperti ini dapat ditemukan di Eropa dan Amerika,
tatapi juga di negara-negara muslim, dan seperti Turki yang semenjak dipimpin
oleh presiden pertamanya, Mustafa Kemal Attaturk (1881-1930) sampai sekarang
tetap mengklaim negaranya sebagai negara sekuler.
Sementara itu,
bagaimana dengan Indonesia? Masih menurut Prof. Nasaruddin Umar, Indonesia
bukan negara agama, bukan pula negara yang mengakui adanya salah satu agama
resmi, dan tentu saja bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila
dimana semua agama dan masing-masing pemeluknya diperlakukan sama sebagai warga
negara Indonesia. Tidak ada agama eksklusif yang harus lebih dominan di antara
agama-agama lainnya, sekalipun diantaranya ada agama mayoritas mutlak dianut
oleh warganya.
Prof.
Nasaruddin Umar mengatakan “…agama mayoritas mutlak?” apakah yang dimaksud oleh
profesor adalah enam agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia,
yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius)? Lalu,
bagaimana dengan pemeluk agama dan kepercayaan lain? Menurut penjelasan UU No.
1/PnPs/1965 Pasal 1, maka kecuali mereka (pemeluk enam agama tersebut) mendapat
jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga
mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh
pasal ini. Pasal ini berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu.”
Walaupun
undang-undang tersebut memberikan jaminan terhadap hak-hak pemeluk
agama/keyakinan diluar enam agama mayoritas, namun realitanya tidak demikian.
Diskriminasi terhadap pemeluk agama/keyakinan diluar enam agama mayoritas masih
terjadi. Diskriminasi tersebut dalam bentuk pengurusan dokumen-dokumen
kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk ataupun Kartu Keluarga, dan akses ke
pendidikan, serta perkawinan
Diskriminasi Pengurusan Dokumen
Kependudukan
Kartu
Tanda Penduduk ataupun Kartu Keluarga memuat kolom agama, namun agama yang
dapat diisi hanya enam agama mayoritas yang telah diakui. Sementara itu selain
pemeluk keenam agama tersebut di beberapa daerah dipaksa untuk memilih salah
satunya. Hal tersebut merupakan diskriminasi. Padahal menurut Pasal 61 ayat 2
dan Pasal 64 ayat 2 UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, selain
pemeluk keenam agama tersebut maka kolom tersebut tidak diisi, tetapi mereka
tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Masalah pengosongan kolom agama ini
menjadi pro dan kontra dikalangan elit politik dan masyarakat. Beberapa pihak
yang pro akan pengosongan ini seperti Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo
mengatakan bahwa hal ini demi mengakomodir rakyat Indonesia yang memeluk
keyakinan selain enam agama. Sementara menurut MUI, penganut agama yang di luar
agama itu sebaiknya kolom agamanya dikosongkan saja, tetapi kolom agama jangan
sampai dihilangkan. MUI juga berpendapat jika mereka menolak penambahan agama lagi di
Indonesia, mestinya enam agama itu sudah cukup. MUI tidak ingin di Indonesia
ada aliran kepercayaan dan semuanya harus konsisten.
Di
lain sisi terdapat pihak yang kontra kolom agama dikosongkan seperti Fraksi PPP
dan Menteri Agama Lukman Hakim. Menurut sekretaris Fraksi PPP Arwani Thomafi,
kolom agama dalam dokumen kependudukan merupakan hal yang penting dan jangan
dikosongkan karena bisa ditafsirkan bahwa orang tersebut tidak beragama. PPP
berharap jika keyakinan di luar enam agama resmi Indonesia juga mendapat
tempat. Sementara menurut menteri agama, kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk
(KTP) tidak boleh dikosongkan. Saat ini, pemerintah masih menggodok draft
Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait perlindungan agama dan keyakinan di luar
enam agama mayoritas di Indonesia.
Diskriminasi terhadap Akses Pendidikan
dan Perkawinan
Ketika
berada di sekolah terutama sekolah negeri pernahkah kita melihat ada pelajaran
agama diluar enam agama yang telah diakui? Pengalaman saya sendiri, saya tidak
pernah melihat ada pelajaran agama diluar enam agama tersebut, bahkan
kebanyakan sekolah umum hanya menyediakan pelajaran agama untuk yang beragama
Islam, Kristen, dan Katolik. Sementara ketiga lain, yaitu Hindu, Budha, dan
Konghucu tidak mendapatkan pelajaran di sekolah, mereka biasanya mendapatkan
pelajaran di tempat ibadah mereka yang nantinya akan dilaporkan ke pihak
sekolah. Jika agama yang telah diakui saja tidak terfasilitasi sekolah,
terlebih yang diluar agama tersebut. Hal ini jelas merupakan diskriminasi. Lalu
bagaimana agar tidak ada diskriminasi? Jika ingin ekstrim, buatlah pelajaran
untuk setiap agama/keyakinan di sekolah (jika ada siswanya) atau tidak perlu
ada sama sekali pelajaran agama di sekolah. Pelajaran agama dapat diberikan di
tempat-tempat ibadah.
Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Menurut UU no 1 tahun 1974 tentang
Pernikahan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam UU tersebut dijelaskan
bahwa perkawinan sah harus menurut hukum agama dan kepercayaan, permasalahan
terjadi jika pasangan tidak memiliki agama yang berarti bahwa dia tidak dapat
melakukan perkawinan yang sah menurut negara. Selain itu, permasalahan juga
terjadi jika antara pasangan memiliki agama yang berbeda. Di Indonesia, tidak
ada hukum yang jelas mengatur tentang tersebut sehingga terjadi kekosongan
hukum. Guru Besar Hukum Perdata
Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat
cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat
dilangsungkan, yaitu meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut
masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
menikah di luar negeri.
Kesimpulan
Hubungan
antara negara dan hak beragama saat ini belum sempurna. Masih ada pihak-pihak
yang tidak mendapatkan haknya karena diskriminasi dari hukum yang berlaku. Beberapa
orang belum setara di mata hukum, mereka masih didiskreditkan, dan tidak
mendapatkan haknya sebaik pihak lain. Sudah seharusnya negara menjamin hak
tersebut karena setiap warga negara seharusnya setara di mata hukum. Dan kita
semua setara di mata Tuhan.
Sumber :
·
Undang-Undang Dasar 1945
·
UU No. 1/PnPs/1965
·
Jurnal “Antara Negara & Agama
Negara” oleh Prof. Dr H. Nasaruddin Umar, MA
Tulisan ini merupakan repost dari tulisan pribadi saya di website BEM FEB UI
Visitors
Free counters