September 5, 2015

Sarasehan untuk Negeri: Illuminating the Shadow of Child Labor and Prostitution



Hidup dalam bayangan ambiguitas, rendah dipandang bukan hal baru.
Tabu, itu satu kata yang ku tahu.

Talkshow SARASEHAN UNTUK NEGERI 
"Illuminating the Shadow of Child Labor and Prostitution"

Tanggal : Selasa, 22 September 2015
Tempat : Ruang Auditorium Soeriaatmadja, FEB UI


 Sesi 1: Illuminating the Shadow of CHILD LABOR
-Arist Merdeka Sirait (Ketua Komnas Perlindungan Anak)
-Prof. DR. Sri Moertiningsih (Guru Besar FEB UI)
-Samsudi (Dirjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI)

Sesi 2: Illuminating the Shadow of PROSTITUTION
-Prof. Adrianus Meliala (Komisioner Kompolnas dan Guru Besar Kriminologi FISIP UI)
-Moammar Emka (Penulis Buku "Jakarta Undercover")
GRATIS! Mari buka mata kita, dan lihat sisi lain yang belum kita lihat sebelumnya.

Informasi lebih lanjut: seruni.bemfebui.com

Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM FEB UI 2015

July 22, 2015

Agama dan Negara: Sebuah Keniscayaan

"Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Itulah bunyi UUD 1945 pasal 28E ayat 1 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam kata-kata awal kalimat tersebut tertulis bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…” yang ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.“ Lalu, apa itu agama dan apa yang membuatnya penting untuk dijamin kemerdekaannya oleh negara?

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Hak dan kebebasan beragama serta berkeyakinan penting untuk mendapat jaminan karena merupakan salah satu hak asasi manusia yang bersifat mutlak sebagai wujud dari hak asasi manusia yang paling inti. Karena itu sering dikatakan bahwa, hak dan kebebasan beragama merupakan hak asasi yang bersifat non-derogable rights yaitu hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Menurut Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, mantan wakil menteri agama Republik Indonesia, ada 3 jenis hubungan antara agama dan negara, yaitu :
·         Negara agama ialah negara yang menjadikan salah satu agama sebagai hukum dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya di beberapa negara Islam, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Syiria, Yordania, Emirat Arab, Marocco, Brunei Darussalam, Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, dan sejumlah negara teluk lainnya.
·         Agama negara ialah negara yang tidak secara eksplisit mengklaim diri sebagai negara agama tertentu, tetapi mengklaim agama tertentu sebagai agama resmi negara. Contoh negara seperti ini ialah Malaysia, sebagaimana dituangkan dalam Konstitusi Malaysia dalam pasal 3 ayat 1: "Agama Islam adalah agama resmi bagi perseketuan; tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai dimana-mana bahagian persekutuan”.
·         Negara sekuler ialah negara yang menghindari kerancuan antara negara dan agama lalu urusan pemerintahan diberikan kepada para pemerintah khususnya kepada pihak eksekutif, sementara agama diserahkan pengaturannya kepada pemimpin agama, maka negara-negara seperti ini dapat ditemukan di Eropa dan Amerika, tatapi juga di negara-negara muslim, dan seperti Turki yang semenjak dipimpin oleh presiden pertamanya, Mustafa Kemal Attaturk (1881-1930) sampai sekarang tetap mengklaim negaranya sebagai negara sekuler.

Sementara itu, bagaimana dengan Indonesia? Masih menurut Prof. Nasaruddin Umar, Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara yang mengakui adanya salah satu agama resmi, dan tentu saja bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila dimana semua agama dan masing-masing pemeluknya diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama eksklusif yang harus lebih dominan di antara agama-agama lainnya, sekalipun diantaranya ada agama mayoritas mutlak dianut oleh warganya.

Prof. Nasaruddin Umar mengatakan “…agama mayoritas mutlak?” apakah yang dimaksud oleh profesor adalah enam agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius)? Lalu, bagaimana dengan pemeluk agama dan kepercayaan lain? Menurut penjelasan UU No. 1/PnPs/1965 Pasal 1, maka kecuali mereka (pemeluk enam agama tersebut) mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Pasal ini berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Walaupun undang-undang tersebut memberikan jaminan terhadap hak-hak pemeluk agama/keyakinan diluar enam agama mayoritas, namun realitanya tidak demikian. Diskriminasi terhadap pemeluk agama/keyakinan diluar enam agama mayoritas masih terjadi. Diskriminasi tersebut dalam bentuk pengurusan dokumen-dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk ataupun Kartu Keluarga, dan akses ke pendidikan, serta perkawinan

Diskriminasi Pengurusan Dokumen Kependudukan
Kartu Tanda Penduduk ataupun Kartu Keluarga memuat kolom agama, namun agama yang dapat diisi hanya enam agama mayoritas yang telah diakui. Sementara itu selain pemeluk keenam agama tersebut di beberapa daerah dipaksa untuk memilih salah satunya. Hal tersebut merupakan diskriminasi. Padahal menurut Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 2 UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, selain pemeluk keenam agama tersebut maka kolom tersebut tidak diisi, tetapi mereka tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.

Masalah pengosongan kolom agama ini menjadi pro dan kontra dikalangan elit politik dan masyarakat. Beberapa pihak yang pro akan pengosongan ini seperti Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa hal ini demi mengakomodir rakyat Indonesia yang memeluk keyakinan selain enam agama. Sementara menurut MUI, penganut agama yang di luar agama itu sebaiknya kolom agamanya dikosongkan saja, tetapi kolom agama jangan sampai dihilangkan. MUI juga berpendapat jika mereka menolak penambahan agama lagi di Indonesia, mestinya enam agama itu sudah cukup. MUI tidak ingin di Indonesia ada aliran kepercayaan dan semuanya harus konsisten.

Di lain sisi terdapat pihak yang kontra kolom agama dikosongkan seperti Fraksi PPP dan Menteri Agama Lukman Hakim. Menurut sekretaris Fraksi PPP Arwani Thomafi, kolom agama dalam dokumen kependudukan merupakan hal yang penting dan jangan dikosongkan karena bisa ditafsirkan bahwa orang tersebut tidak beragama. PPP berharap jika keyakinan di luar enam agama resmi Indonesia juga mendapat tempat. Sementara menurut menteri agama, kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak boleh dikosongkan. Saat ini, pemerintah masih menggodok draft Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait perlindungan agama dan keyakinan di luar enam agama mayoritas di Indonesia.

Diskriminasi terhadap Akses Pendidikan dan Perkawinan
Ketika berada di sekolah terutama sekolah negeri pernahkah kita melihat ada pelajaran agama diluar enam agama yang telah diakui? Pengalaman saya sendiri, saya tidak pernah melihat ada pelajaran agama diluar enam agama tersebut, bahkan kebanyakan sekolah umum hanya menyediakan pelajaran agama untuk yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Sementara ketiga lain, yaitu Hindu, Budha, dan Konghucu tidak mendapatkan pelajaran di sekolah, mereka biasanya mendapatkan pelajaran di tempat ibadah mereka yang nantinya akan dilaporkan ke pihak sekolah. Jika agama yang telah diakui saja tidak terfasilitasi sekolah, terlebih yang diluar agama tersebut. Hal ini jelas merupakan diskriminasi. Lalu bagaimana agar tidak ada diskriminasi? Jika ingin ekstrim, buatlah pelajaran untuk setiap agama/keyakinan di sekolah (jika ada siswanya) atau tidak perlu ada sama sekali pelajaran agama di sekolah. Pelajaran agama dapat diberikan di tempat-tempat ibadah.

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Menurut UU no 1 tahun 1974 tentang Pernikahan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa perkawinan sah harus menurut hukum agama dan kepercayaan, permasalahan terjadi jika pasangan tidak memiliki agama yang berarti bahwa dia tidak dapat melakukan perkawinan yang sah menurut negara. Selain itu, permasalahan juga terjadi jika antara pasangan memiliki agama yang berbeda. Di Indonesia, tidak ada hukum yang jelas mengatur tentang tersebut sehingga terjadi kekosongan hukum. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan menikah di luar negeri.

Kesimpulan
Hubungan antara negara dan hak beragama saat ini belum sempurna. Masih ada pihak-pihak yang tidak mendapatkan haknya karena diskriminasi dari hukum yang berlaku. Beberapa orang belum setara di mata hukum, mereka masih didiskreditkan, dan tidak mendapatkan haknya sebaik pihak lain. Sudah seharusnya negara menjamin hak tersebut karena setiap warga negara seharusnya setara di mata hukum. Dan kita semua setara di mata Tuhan.

Sumber :
·         Undang-Undang Dasar 1945
·         UU No. 1/PnPs/1965
·         Jurnal “Antara Negara & Agama Negara” oleh Prof. Dr H. Nasaruddin Umar, MA

Tulisan ini merupakan repost dari tulisan pribadi saya di website BEM FEB UI

July 15, 2015

#SelaSeruni : FDI Menyebabkan Pertumbuhan Underground Economy


 #SelaSeruni merupakan fakta-fakta tentang underground economy yang merupakan tema general dari acara talkshow Sarasehan untuk Negeri yang disajikan setiap hari selasa

Pergeseran objek pembebanan pajak dari modal menjadi tenaga kerja dan konsumsi untuk menarik minat investasi asing (Foreign Direct Investment) menjadi ancaman bagi pajak pendapatan dan mengakibatkan tumbuhnya Underground Economy. 

Sarasehan untuk Negeri
Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM FEB UI 2015

July 11, 2015

Serap Anggaran, Bangun Indonesia!

Menurut data BPS, di kuartal 1 tahun 2015 Indonesia hanya mampu tumbuh 4,7% atau di bawah target yang ditetapkan pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 (APBN-P 2015), yaitu 5,7%. Pertumbuhan ekonomi juga mengalami tren perlambatan yang mana pada kuartal yang sama tahun 2014 pertumbuhan mencapai 5,2% dan tahun 2013 mencapai 6%. Lalu kenapa pertumbuhan ekonomi di Indonesia melambat? Menurut katadata.co.id, 3 komponen yang turut menyumbang perlambatan ekonomi di Indonesia adalah turunnya belanja pemerintah, rendahnya konsumsi masyarakat, dan melambatnya kinerja ekspor dan impor.

Selanjutnya, mari kita lanjutkan dengan menguji hipotesis tersebut ke teori yang telah dipelajari di mata kuliah Pengantar Ekonomi 2. Gross Domestic Product (GDP) adalah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. GDP inilah yang dijadikan tolak ukur dalam menghitung pertumbuhan ekonomi. GDP menurut pendekatan pengeluaran memiliki rumus :

GDP = C + I + G + NX
C = Konsumsi masyarakat
I = Investasi
G = Pengeluaran pemerintah
NX = Net export


Jika berdasarkan katadata.co.id penyebab perlambatan ekonomi adalah 3 komponen yang disebutkan diatas. Maka komponen itu mempengaruhi unsur ‘C’, ‘G’, dan ‘NX’. Jika 3 komponen itu mengalami penurunan, maka benar GDP sebagai indikator pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan, ceteris paribus. Namun pada tulisan ini, penulis akan lebih berfokus pada unsur ‘G’.
Berdasarkan pernyataan Presiden Jokowi pada sidang kabinet paripurna 13 Mei 2015 lalu, presiden menegaskan bahwa permasalahan penyerapan anggaran (belanja pemerintah) dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, melemahnya ekonomi, dan lain-lainnya. Presiden Jokowi juga menegaskan jika permasalahan penyerapan anggaran dapat terjadi karena masalah yang berkaitan dengan organisasi kementerian yang selanjutnya masuk ke masalah pencairan anggaran.Pernyataan Presiden Jokowi juga diperkuat oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil. Menurutnya, keterlambatan penyerapan anggaran disebabkan oleh masalah birokrasi. Beberapa kementerian terlambat melakukan tender karena perubahan nomenklatur yang belum selesai. Selain masalah birokrasi, ternyata pada awal tahun penyerapan anggaran juga cenderung lebih rendah dibandingkan dengan saat mendekati akhir tahun.Menurut Yustika (2012), terdapat beberapa aspek yang mengakibatkan lambatnya penyerapan anggaran pada awal tahun, yaitu :
  1. Setiap kementerian dan lembaga terlebih dahulu melakukan penelaahan atas perencanaan terkait dengan program dan kegiatan yang terdapat dalam APBN. Penelahaan yang dilakukan tersebut untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut telah sesuai dengan kebutuhan tahun anggaran berjalan. Lambatnya penyerapan anggaran disebabkan karena sebagian proyek/program sejak awal tidak diikuti dengan jadwal yang jelas, ataupun jadwal tersebut hanya sebagai panduan bukan sebagai target pelaksanaan. Selain itu, tidak adanya inisiatif untuk melaksanakan program/proyek yang sudah ditetapkan karena menganggap waktu untuk pelaksanaan anggaran relatif masih lama.
  2. Adanya proses tender yang memakan waktu lama dalam pelaksanaan program. Setiap program yang berjalan dengan nilai proyek yang besar dan pengerjaan yang rumit, sesuai dengan aturan harus melalui proses tender yang memakan waktu berbulan-bulan, sehingga pelaksanaan program tersebut pada awal tahun belum dapat dimulai. Apabila jumlah perusahaan yang mengikuti tender kurang dari persyaratan maka harus dilakukan tender ulang, dan hal itu akan semakin menghambat pelaksaan program.
  3. Terdapat beberapa jenis program/proyek tertentu yang tidak bisa dilaksanakan pada awal tahun. Program-program seperti monitoring dan evaluasi atas program/proyek yang dijalankan pelaksanaannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun.Selain itu juga terdapat kegiatan yang pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan musim khususnya yang berkaitan dengan pertanian, misalnya subsidi benih dan pupuk yang baru tepat diberikan saat musim tanam sekitar bulan September/Oktober.

Keterlambatan penyerapan anggaran akan menyebabkan efek multiplier pertumbuhan ekonomi melambat. Jika pengeluaran pemerintah berkurang, maka Aggregate demandakan berkurang. Jika Aggregate demand berkurang atau bergeser (shifting) ke kiri, maka kuantitas dan harga keseimbangan akan menurun. Hal ini dapat menyebabkan industri-industri kecil ‘gulung tikar’ karena keuntungan yang didapatkan cenderung berkurang. Jika dilanjutkan, tutupnya beberapa industri kecil akan menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan meningkatkan tingkat pengangguran di Indonesia. Selanjutnya, pengangguran memberikan banyak dampak negatif yang salah satunya menurunkan daya beli masyarakat dan akhirnya kembali memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena dampak penyerapan anggaran yang besar, pemerintah sebaiknya segera menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan organisasi kementerian. Segera mengadakan pengisian jabatan-jabatan penting terutama eselon 1 yang berkaitan dengan Kuasa Penggunaan Anggaran (KPA) agar anggaran segera dialokasikan dan memicu pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perbaikan perencanaan penggunaan anggaran dan kinerja dari pegawai pemerintah harus terus dilakukan. Pemberian ‘vitamin’ berupa tambahan tunjangan seperti yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak merupakan hal baik, karena dengan naiknya kesejahteraan dari pejabat strategis peluang melakukan fraud akan cenderung berkurang dan pada akhirnya kembali memicu pertumbuhan ekonomi yang didambakan Indonesia. Namun perludiingat bahwa selain pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan berkaitan dengan pemerataan juga harus dipriotaskan agar koefisien gini Indonesia membaik dan akhirnya rakyat sejahtera.

Referensi :
Tulisan ini merupakan repost dari tulisan pribadi saya di blog Kastrat FEB UI

July 10, 2015

Bisnis Prostitusi, Musibah atau Berkah bagi Indonesia?


“Black money is so much a part of our white economy, a tumour in the centre of the brain - try to remove it and you kill the patient.” - Rohinton Mistry

Ekonomi bawah tanah atau underground economy merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi formal namun melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku (ilegal), dan kegiatan-kegiatan ekonomi informal yang disebabkan oleh berbagai hal tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional (Arief, 1993). Tidak tercatatnya aktivitas ekonomi tersebut (underground economy) menyebabkan hilangnya potensi pendapatan negara yang besar terutama dari sektor pajak. Semakin besar underground economy maka semakin besar besar potensi pajak yang hilang. Perhitungan nilai ekonomi aktivitas underground economy pernah dilakukan oleh Enste dan Scheneider (2002), hasil studi memperkirakan bahwa untuk negara-negara berkembang nilai ekonominya dapat mencapai 35%-44% dari Produk Domestik Bruto (PDB). PDB Indonesia pada tahun 2014 mencapai hampir Rp 10.542,7 triliun, maka total aktivitas ekonomi bawah tanah dapat mencapai lebih dari Rp 3.600 triliun. Penggalian potensi pajak atas aktivitas ekonomi bawah tanah – legal namun tidak dilaporkan – telah menjadi program rutin Ditjen Pajak yaitu melalui intensifikasi pemungutan pajak. Namun, bagaimana dengan aktivitas ekonomi bawah tanah yang ilegal?

Ekonomi ilegal merupakan aktivitas ekonomi yang dilarang di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Pelaksanaan ekonomi ilegal adalah bentuk penyelewengan hukum yang dapat diberi sanksi pidana. Tulisan ini akan fokus pada prostitusi sebagai salah satu ekonomi ilegal. Menurut KBBI, prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Prostitusi memberikan banyak dampak negatif pada masyarakat, namun dilain sisi ternyata memiliki potensi untuk memberi kehidupan bagi sebagian masyarakat dan membangun negara.

Secara moral, sosial, dan budaya di Indonesia, tindakan hubungan seksual untuk menjadi mata pencaharian tidak dapat dibenarkan. Di tempat prostitusi baik yang di lokalisasi maupun yang tidak kita dapat menemukan banyak hal negatif seperti :
  • Perdagangan manusia (human trafficking), merupakan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Tindakan ini jelas melanggar hak asasi manusia untuk hidup, merdeka, dan bebas dari semua bentuk perbudakan. Pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  • Praktek seks bebas merajalela yang dapat menyebarkan penyakit menular seksual berbahaya seperti herpes, AIDS, raja singa, gonorrhoeae, dan lain-lain
  • Anak-anak yang tumbuh di lingkungan sekitar area prostitusi mendapatkan pengaruh negatif dari lingkungannya yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan mentalnya. Lebih parah lagi jika anak-anak terlibat langsung dalam kegiatan prostitusi tersebut. Aktivitas prostitusi yang melibatkan anak dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale Of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak
  • Kemerosotan moral para pemuda dan bangsa karena tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa yang termuat dalam Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), prostitusi diatur pada Pasal 296 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” KUHP tersebut dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK atau germo. Namun, penjaja dan pemakai jasa PSK tidak dapat diterapkan di dalam ketentuan KUHP tersebut. Peraturan tentang penjaja dan pemakai jasa PSK tidak terdapat di KUHP, namun terdapat di beberapa Peraturan Daerah (Perda) di daerah-daerah tertentu, seperti di Jakarta yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Pernyataan-pernyataan di atas terkait dampak negatif prostitusi dan larangannya di Indonesia tidak dapat disanggah kebenarannya, namun jika kita melihat dari sudut pandang lain hasilnya akan berbeda. Jika kita lihat dari sisi ekonomi, aktivitas-aktivitas prostitusi dapat memberikan nilai tambah yang besar bagi pendapatan negara. Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat di dalam buku berjudul “Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya” yang ditulis oleh Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones pada tahun 1997, nilai ekonomis industri prostitusi memiliki nilai cukup besar. Jumlah pekerja seks komersial diperkirakan terdapat 140.000 - 230.000 orang dari berbagai segmen dengan penghasilan per tahun berkisar antara 1,18 miliar dollar Amerika yang jika dirupiahkan dengan kurs saat ini mencapai 15,34 triliun rupiah (Rp 13.000 per USD). Nilai yang sangat besar tersebut adalah penghasilan di tahun 1997, bagaimana dengan nilai prostitusi sekarang? Angkanya dapat dipastikan jauh lebih besar. Angka sebesar itu dapat menjadi objek pajak penghasilan yang besar bagi pemasukan negara yang selanjutnya dapat memberikan dampak besar pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan lainnya di Indonesia. Lalu apakah Direktorat Jenderal Pajak memiliki wewenang untuk mengambil pajak dari kegiatan underground economy yang ilegal seperti prostitusi?

Menurut UU 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Berdasarkan definisi tersebut, pengenaan pajak penghasilan tidak mengatur pengecualian objek pajak apakah berasal dari sumber legal atau ilegal. Maka dengan besarnya target penerimaan negara dari pajak yang mencapai hampir Rp 1.300 triliun, pengenaan pajak pada bisnis prostitusi akan sangat membantu mencapai target tersebut dan mengurangi beban defisit yang mungkin terjadi jika target pajak tidak tercapai. Pada masa orde baru, beberapa pemerintah daerah membuat atau memberikan tempat khusus untuk melokalisasi praktek prostitusi seperti Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di Bandung, Sunan Kuning di Semarang, Pasar Kembang di Yogyakarta, Selir di Solo atau Gang Dolly di Surabaya. Kramat Tunggak di Jakarta dibangun pada masa Gubernur Ali Sadikin. Pada saat itu penerimaan daerah di APBD sangat kecil dan tidak cukup untuk melaksanakan pembangunan daerah, sehingga Gubernur Ali Sadikin berinisiatif untuk melokalisasi prostitusi di Jakarta dan memungut pajak daerah dari kegiatan tersebut. Cara ini cukup berhasil dalam meningkatkan kas daerah dan meningkatkan pembangunan.

Namun, pada era reformasi karena tuntutan dari masyarakat, beberapa tempat lokalisasi akhirnya harus ditutup, seperti Kramat Tunggak di Jakarta dan Saritem di Bandung. Yang terbaru adalah penutupan Gang Dolly di Surabaya pada tahun 2014 lalu. Penutupan terjadi karena masyarakat Indonesia secara sosial dan budaya tidak dapat menerima tindakan asusila tersebut. Berbeda dengan negara-negara di barat seperti di Belanda yang menyediakan daerah khusus yang layak bagi kegiatan prostitusi, perjudian, dan penggunaan ganja. Di Red Light District di Belanda asalkan berusia diatas 21 tahun maka hal-hal tersebut dilegalkan. Bagi kebanyakan orang lokalisasi tersebut mungkin dianggap aneh karena melegalkan sesuatu yang memberikan dampak negatif. Namun, sebenarnya terdapat sesuatu yang positif di baliknya. Karena kegiatan prostitusi hampir tidak mungkin untuk dihapuskan maka melokalisasinya akan membuat prostitusi lebih teratur. PSK tidak akan ada di jalanan umum, safe sex dan pemeriksaan kesehatan rutin, anak-anak yang masih di bawah umur tidak akan terpengaruh negatif karena terdapat batas umur pengunjung, dan menambah pendapatan negara dari retribusinya.

Apa yang penulis sebutkan di atas sangatlah normatif. Faktanya hanya kemungkinan kecil hal tersebut dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Ketika Kramat Tunggak masih ada, prostitusi tetap tumbuh subur di luar lokalisasi dengan praktek-praktek terselubung seperti di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat misalnya. Kelayakan, kebersihan, dan jaminan kesehatan di area lokalisasi juga tidak terjamin. Yang terakhir, faktor yang membuat hal tersebut sangat normatif dan sulit terealisasi adalah faktor sosial dan budaya di Indonesia yang menganut dasar ketimuran. Prostitusi ditolak keras disini dan tidak ada toleransinya. Lalu apakah prostitusi masih layak untuk dibenarkan setelah kita lihat positif dan negatifnya?

Referensi :
Tulisan ini merupakan repost dari tulisan pribadi saya di blog Kastrat FEB UI